Rasulullah bersabda: la yu’minu ahadakum hatta akuuna ahabba ilaihi min waladihi wawaaladihi wannaasi azma’in .Tidak beriman seseorang di antara kamu sebelum aku ini lebih dicintainya daripada anaknya, dan ayahnya dan sekalian manusia sekalipun). Cinta dan Pembuktiannya
Mencintai dan Dicintai Sebuah Keniscayaan
Bagi umat manusia, mencintai dan dicintai adalah sesuatu yang niscaya. Dunia akan hampa, bila seseorang yang ia cintai, tidak membalas cintanya. Misteri cinta, terkadang tidak mampu dibaca dengan logika. Karena itu, banyak orang yang mendefinisikan cinta, sesuai dengan apa yang ‘dituntun’ oleh perasaannya.
Lalu apa kaitannya dengan hadis di atas? Sebagai umat akhir zaman, kita diperintahkan tidak saja mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya. semua itu bisa terealisasi dengan sempurna jika di hati ini muncul yang namanya cinta. Cinta dan Pembuktiannya
Coba kita bandingkan, rasa cinta manusia dengan lawan jenisnya. Ia akan berusaha menjaga cintanya tersebut agar tidak menyakiti hati pujaan hatinya. Karena itu setiap ucapan dalam bentuk ‘larangan dan perintah’ dari sang buah hati akan diturutinya. Misalnya, jika kita diteleponnya, agar menjemputnya pukul 7 pagi. Maka laki-laki yang begitu mencintai wanita tersebut, walaupun pada hari-hari biasanya ia bangun pukul 8 pagi, maka pada hari tersebut ia berusaha untuk bisa bangun pukul 6 pagi. Dan sudah sampai ke rumah sang kekasih pada pukul 7 pagi. Inilah aplikasi dari rasa cinta itu. Mencoba ‘melaksanakan’ dan ‘meninggalkan’ apa yang menjadi ‘perintah’ dan ‘larangan’ dari yang dikasihinya itu.
Nah, jika kita beragama telah mampu merasakan ‘cinta’ yang merupakan puncak tertinggi dari sekedar beragama saja, maka tentu akan muncul rasa kenikmatan yang luar biasa. Jika kita selama ini, melakukan amal-amal soleh untuk menginginkan Surga dan meninggalkan larangan-larangan-Nya untuk tidak berada di Neraka, maka sesungguhnya kita belum sampai kepada puncak kecintaan seorang hamba kepada Khaliknya.
Konsep Rabiatul Adawiyah Akan Cinta
Benarlah apa yang menjadi konsep hidup dari Rabiatul Adawiyah, seorang sufi wanita yang sangat terkenal dengan konsep mahabbah-nya. Di mana ia ketika berdoa, sudah melewati keinginan sebagian besar dari kita yaitu di masukkan ke dalam Surga. Ia berkata, jika ia melaksanakan amal soleh untuk mendapatkan Surga-Nya Allah, maka campakkanlah ia ke dalam Neraka-Nya. Namun jika ia melaksanakan amal soleh dan meninggalkan larangan-Nya untuk ‘bertemu’ dengan Allah, maka jangan hijab (tutup) Zat-Nya Allah tersebut.
Suatu doa yang melebihi dari doa-doa kita selama ini, di mana kita hanya berharap untuk mendapatkan Surga-Nya saja, namun Rabiatul tidak demikian, karena kecintaannya untuk bertemu dengan Allah, maka tidak ada yang boleh membatasi atau menghalangi dirinya untuk bertemu dengan-Nya.
Hadis di atas, memerintahkan kita untuk mencintai Rasulullah, melebihi cinta kita kepada anak maupun keluarga dekat kita. Dan di saat kita sudah sangat mencintai Rasulullah di saat itulah sebenarnya kita juga mencintai Allah. Karena itulah Rasulullah menjelaskan dan juga dipertegas Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku; niscaya kamu akan dicintai pula oleh Allah, dan diampuni-Nya dosamu “(QS Ali Imran: 31).
Berapan Persen Cinta Kita Kepada Rasulullah?
Pertanyaannya sekarang adalah, berapa persenkan cinta kita kepada Rasulullah? Dan apa realisasi cinta kita itu kepadanya. Jika kita mengatakan kita sangat mencintai Rasulullah, lalu apa pembuktiannya? Tentu saja sangat sederhana sebenarnya pembuktian bahwa kita mencintai Rasulullah, yaitu melaksanakan sunahnya. Karena sunah Rasulullah itu adalah penjabaran dari perintah Allah dan larangan Allah. Jadi saat kita sudah melaksanakan sunah Rasulullah, kita juga serta merta sudah melaksanakan perintah Allah dan di saat kita mencintai Rasulullah maka di saat itulah nilai-nilai kecintaan kepada Allah semakin tumbuh dan berkembang.
Saat Rasulullah, bersabda: Berpuasalah kamu…., maka perintah tersebut merupakan penguatan dari apa yang diperintahkan Allah kepada kita. Sehingga saat kita mencintai Rasulullah di saat itu juga kita mencintai Allah. Sebaliknya, ketika kita tidak melaksanakan sunah Rasulullah, maka berarti kita sudah meninggalkan perintah dari Allah.
Nilai-nilai cinta yang kita tanam hari ini kepada Rasulullah dan Allah subhanahu wa ta’ala tentu akan kita tuai, bisa jadi di dunia ini atau pada saat di akhirat kelak. Orang yang sudah ada rasa cinta, ia tentu akan sangat bahagia bila nanti bertemu dengan yang dicintainya, bahkan rasa kecintaannya itu akan membawa kepada kekuatan dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.Cinta dan Pembuktiannya
Namun ingat! Cinta itu butuh pengorbanan, maka tidak heran jika kecintaan kita semakin kuat kepada Rasulullah dan Allah, maka di saat itulah kita akan diuji, apakah kecintaan kita hanya sebatas ucapan saja atau benar-benar muncul dari lubuk yang paling dalam. Maka ketika ujian datang, bukan keluh kesah yang datang, tetapi rasa syukur dan mengambil hikmah dari ujian tersebut. Karena kebahagian tidak akan datang dengan ‘mulus’ bila tidak disertai dengan beberapa halangan.
Di sinilah kadang-kadang kita tergelincir, kita menyatakan cinta kepada Rasulullah dan Allah, tetapi ketika mendapat ujian, kita sudah berburuk sangka kepada-Nya.