rekatamedia.com.-DPR harus segera mencabut/mencoret/ membatalkan Rancangan Undang-Undangan Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Mencabut RUU HIP, berarti bukan menunda, serta tidak ada kompromi lagi tentang hal ini, serta tidak akan mengusulkan kembali RUU tersebut pada masa yang akan datang.
Demikian salah satu bunyi pernyataan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan bersama MUI Kecamatan se Kota Medan dan Ormas Islam se Kota Medan yang terdiri dari Al Jam’iyatul Washliyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Ittihadiyah Kota Medan, Selasa (30/6) menyikapi tentang RUU HIP.
Sebelum pernyataan sikap tersebut dibacakan dan ditandatangani oleh para utusan, dilakukan muzakarah membedah naskah akademik dari RUU HIP ini di aula MUI Kota Medan tersebut. Tampil sebagai pembicara Dir Intelkam Poldasu Kombes Pol Ruslan Efendi, Dr. H. Hakim Siagian M. Hum, Dr. Ir. H Masri Sitanggang M.P, Dr. Zulham M.Hum, Dr. Zahrin Piliang dan Prof. Dr. Hasim Purba SH.
Ketua Umum MUI Medan Prof. Dr. H. Mohd Hatta, dalam sambutannya menjelaskan bahwa munculnya penolakan terhadap pembahasan RUU HIP secara nasional terlebih-lebih datangnya dari MUI merupakan hal yang harus diperhatikan oleh anggota DPR RI dan pemerintah. Selain itu, pihaknya juga merasa berkewajiban, membedah apa sebenarnya yang terkadung tidak hanya dalam RUU HIP tersebut juga termasuk berkaitan dengan naskah akademik dari RUU HIP ini.
“Kita tidak mau para ulama, hanya mendengar sekilas dari apa yang terjadi di tengah masyarakat. Kita ingin mendengar langsung pemikiran-pemikiran para akademisi hukum berkaitan dengan RUU tersebut. Apakah ini hanya berkaitan dengan persoalan biasa saja, atau ada sesuatu dibalik keinginan untuk meloloskan RUU ini, “ujar Hatta.
Berdasarkan paparan para nara sumber dan peserta muzakarah terhadap RUU HIP dan naskah akademik RUU HIP, bahwa RUU ini dinilai tidak mempunyai urgensi untuk dibentuk dan diundangkan. Berdasarkan landasan filosofi, sosiologi, dan yuridis yang dikemukakan pada naskah akademik menunjukkan selain tidak mempunyai urgensitas, juga terdapat pereduksian terhadap makna Pancasila. Bahkan, lebih dari itu, RUU tersebut dinilai anti Pancasila dan memusuhi agama sehingga wajib dilawan dan ditolak secara tegas tanpa kompromi.
RUU HIP Dinilai Cacat Yuridis
Menurut Dr. H. Abdul Hakim Siagian, Dr. Ir. Masri Sitanggang, Dr. Zulham M.Hum, Dr. Zahrin Piliang dan Prof. Dr. Hasim Purba SH semua pembicara ini sepakat bahwa naskah akademik RUU HIP memiliki cacat dalam hal landasan yuridis. Salah satu alasan yuridis (dan juga alasan sejarah) yang diajukan adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila adalah tidak benar dan cacat sejarah, sebab hari lahir Pancasila adalah tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan dipertegas oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Selain persoalan naskah akademik di atas, secara sosiologis kehadiran RUU HIP selain tidak mempunyai kepentingan RUU ini dinilai membahayakan dan menyebabkan perpecahan bangsa Indonesia. Kota Medan, Sumatera Utara sebagai potret kecil Indonesia yang bersifat majemuk dan plural selama ini hidup secara damai, harmonis dan penuh kekeluargaan dengan Pancasila sebagai perekat dan pemersatu. Kehadiran RUU HIP saat ini justru merusak tatanan masyarakat Kota Medan yang telah hidup rukun dan damai tersebut.
Pernyataan Sikap MUI Medan dan Ormas Islam
Atas beberapa alasan di atas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, MUI Kecamatan Se Kota Medan serta organisasi masyarakat (Ormas) Al-Jam’iyatul Washliyah, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Ittihadiyah membuat pernyataa sikap, di mana pernyataan sikap ini akan ditembuskan ke Presiden, DPR RI, Polri dan instansi terkait.
Adapun pernyataan sikap tersebut secara utuh adalah: Pertama: DPR harus segera mencabut/mencoret/ membatalkan RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Mencabut RUU HIP, berarti bukan menunda, serta tidak ada kompromi lagi tentang hal ini, serta tidak akan mengusulkan kembali RUU tersebut pada masa yang akan datang.
Kedua, mendesak POLRI dan TNI mengusut inisiator dan pengusul dan semua pihak terkait baik personal, organisasi/lembaga dan partai politik yang terlibat dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebab patut diduga melakukan tindak pidana makar terhadap Negara sesuai dengan TAP MPRS No. XXV/1996 dan UU No. 27/1999, khususnya Pasal 107 d
Ketiga, mendesak presiden untuk mencabut/membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Dengan tanpa mengurangi penghargaan terhadap Bung Karno sebagai proklamator bahwa mendasarkan Pancasila pada pidato Soekarno 1 Juni 1945 adalah bertentangan dengan fakta sejarah dan kesepakatan founding fathers, dimana pembahasan Pancasila sebenarnya dimulai 22 Juni 1945, dan akhirnya menetapkan Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.
Keempat, mendesak auditor internal dan external untuk memeriksa penggunaan uang rakyat dalam pembuatan RUU HIP, dan membawa ke ranah hukum jika terbukti melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.
Kelima, mendesak Presiden untuk mengevaluasi keberadaan Lembaga Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), sebab selain tidak mempunyai kinerja yang jelas, juga hanya membuat kegaduhan bagi masyarakat. Dan jika BPIP terbukti terlibat dalam RUU HIP, agar segera dibubarkan.
Keenam, m engusut dan menjatuhkan sanksi secara tegas terhadap organisasi dan partai politik yang masih mencantumkan Trisila, Ekasila dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) selain Pancasila sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dan poin ketujuh dari pernyataan sikap tersebut adalah menghimbau kepada umat Islam untuk menghukum secara politik dengan tidak memilih dan/atau mendukung partai politik pengusul dan pendukung RUU HIP serta mendukung sepenuhnya maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang RUU HIP. (*)