Oleh: Prof. Dr. Ibrahim Siregar
analisamedan.com - Dalam suatu dialog informal seorang non muslim dari Eropa menyampaikan suatu pertanyaan, sekaligus merupakan kritik: Mengapa masyarakat muslim itu kumuh dan terbelakang. Penilainnya tersebut didasarkan atas pengamatannya terhadap perilaku umat muslim di negara-negara muslim yang sudah ia kunjungi.
Seorang teman memberi respon terhadap pertanyaan tersebut dengan jawaban yang cukup baik dan komprehensif secara konseptual normatif, dari persfektif ajaran Alquran, Hadits, dan fikih.
Penjelasan yang diuraikannya mengacu kepada sumber ajaran terkait pesan-pesan ilahiyyah dan nubuwwat untuk giat menggali ilmu pengetahuan, sains, tamadun, dan peradaban. Demikian juga bagaimana fikih secara luas mengajarkan tentang konsep bersuci dan kebersihan.
Penjelasan konseptual tersebut tentu menambah informasi cognitif yang dapat memahamkan outsider tersebut dalam tataran ajaran inti agama Islam. Namun oursider tersebut dengan rada kebingungan atas jawaban tersebut, justeru menambah pertanyaan berikutnya, mengapa fenomena yang mainstream tidak demikian, yang berlaku justeru antara penjelasan tersebut dengan fakta sangat jauh berbeda.
Outsider
Begitu kuat terpatri di benak mereka sebagai outsider selama ini bahwa Islam dan muslim itu secara entitas adalah apa yang mereka persepsikan sesuai dengan tampilan realitas yang teramati.
Memang dalam persfektif filsafat pengetahuan, paling tidak ada tiga keranjang teori tentang pengujian kebenaran; uji kebenaran koherens-rasional, uji kebenaran korespondens-empiris, dan uji kebenaran paragmatis.
Terkait dengan dialog diatas dapat dipahami bahwa pengamat dari orang luar tersebut sedang menilai realitas umat Islam dari posisi persfektif teori uji kebenaran koresponden-empiris. Bagaimana tampilan pemeluk Islam berperilaku itulah sesunguhnya karakter atau sejatinya (nature)Islam itu sendiri.
Terlepas dari kemungkinan penilaian outsider tersebut terlalu simplistis dan melahirkan padangan streotype, namun sulit untuk disangkal bahwa suatu perilaku yang telah menjadi kebiasaan dan budaya selalu merupakan tolok ukur penilaian dalam menggambarkan kualitas peradaban suatu masyarakat atau bangsa.
Ketika yang dipertontonkan berupa hal negatif atau sisi keburukan maka itulah yang melekat pada individu, masyarakat, ataupun bangsa, yang dikenal dengan stigma.
Stigma bisa merupakan sesuatu yang melekat pada diri individu berupa cacat fisik, penyimpangan perilaku dari moralitas, nilai luhur yang diterima masyarakatnya, ataupun kebiasaan yang sudah membudaya pada suatu ras, agama, dan bangsa (Erving Goffman, 1963).