Oleh : Heri Firmansyah, M.A.
Syaikul Islam Imam Ibnu Taimiyah mengungkapkan dalam Majmu’ al-Fatawa bahwa jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, maka keadaan manusia diprediksi akan mudah rusak. Kekuasaan identik dengan politik, karena itu umat Islam haruslah melek dan paham politik, dan bergerak untuk memperjuangkan dan menguasainya. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengungkapkan dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad bahwa agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi pasti akan rapuh dan mudah roboh. Sedangkan segala sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hilang dan musnah. Dari kedua tokoh terkemuka tersebut dapatlah kita memahami bahwa sesungguhnya di dalam Islam, politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan.
Karena itu, sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, umat Islam dalam perannya haruslah mampu menyasar isu strategis kebangsaan dan kerakyatan, karena umat Islam memiliki modal utama, yaitu idiologi yang berdasarkan pada syariat dan ajaran Islam yang mulia. Modal utama ini haruslah menjadi standarisasi bacaan terhadap realitas empirik yang komplek dan multidimensial. Sinkronisasi dan harmonisasi antara politik Islam yang berdasarkan pada ajaran agama dan nilai-nilai luhur bangsa yang dituangkan dalam falsafah Pancasila haruslah dipertahankan, karena tidak ada nilai-nilai dalam pancasila yang bertentangan dengan ajaran agama, dan Pancasila sendiri mengakomodir kehidupan beragama di Indonesia, dengan sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa.
Tawaran Arah Kebijakan Politik Umat Islam
Maka tawaran arah kebijakan politik umat Islam adalah menghindarkan benturan terhadap pemerintah dan pemeluk agama lainnya, sambil secara kritis terus memantau kebijakan pemerintah dalam rangka menjamin dan membela kepentingan umat agar selalu terjamin kemashlahatan dan terhindar dari segala kemudharatan dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Karena hakikat politik Islam atau siyasah syar’iyyah dalam terminologi Islam, mengutip apa yang disampaikan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah pengelolaan masalah-masalah umum oleh pemerintah dalam menjamin terselenggara dan terciptanya kemashlahatan dan terhindarnya dari kemudharatan dengan tidak melanggar dan menyalahi ketentuan yang ada pada ajaran Islam dan prinsip-prinsip umumnya. Masalah-masalah umum yang dimaksudkan adalah segala hal yang membutuhkan pengaturan dalam kehidupan mereka, baik dibidang peradilan, eksekutif, legislatif dalam mengurus perundang-undangan, keungan dan moneter, masalah dalam negeri ataupun hubungan internasional.
Umat Islam haruslah memastikan akan patuh terhadap pemimpin dan kebijakannya, selama mengelola pemerintahan pada kebenaran dan keadilan dan sesuai dengan semangat ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam Alquran surah annisa ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Semangat Kemaslahatan dan Jiwa Syariat
Dari landasan ayat di atas jelas bahwa pemerintah dengan kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan wajib diikuti jika sesuai dengan semangat kemashlahatan dan jiwa syariat. Tapi ketaatan itu menjadi batal jika fungsi dan peran ini tidak dijalankan pemerintah secara baik. Rasulullah saw. mengungkapkan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Demikian juga pemimpin dan pemerintahan yang tidak dijalankan dengan semangat kemashlahatan dan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam tidak wajib untuk diikuti. Seperti melakukan kezoliman, ketidakadilan dan banyak mengeluarkan kebijakan peraturan perundangan yang melanggar ajaran Islam.
Untuk mengukur sebuah peraturan yang sesuai dengan semangat ajaran Islam, kiranya sesuai untuk mengutip pendapat Muhammad Iqbal, pakar politik Islam dalam bukunya fikih siyasah, bahwa peraturan tersebut secara prosedur haruslah dihasilkan dengan musyawarah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt dalam Alquran surah Ali Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Juga terdapat pada surah asy-syura ayat 38: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
Sedangkan secara subtansinya haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: pertama, sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, meletakkan persamaan manusia di depan hukum dan pemerintahan. Ketiga, tidak memberatkan manusia untuk melakukannya (a’dam al-Kharaj). Keempat, Menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat (tahqiq al-a’dalah). Kelima, menciptakan kemashlahatan bagi masyarakat umum dan menghindarkan dari kemudharatan.
Untuk mewujudkan pemimpin yang diharapkan dan memberikan kemashlahatan, Umat Islam haruslah memberikan peran dan aktif dalam melahirkan pemimpin tersebut. Politik Islam haruslah memberikan peran signifikan bagi proses suksesi kepemimpinan di negeri ini. Pemimpin-pemimpin Indonesia diharapkan lahir dari tubuh umat Islam dengan kriteria pemimpin yang sesuai dan paham ajaran Islam, sehingga kebijakan dan pengelolaan pemerintahannya pun berdasarkan kepada kemashlahatan dan ajaran Islam.
Penulis: Dosen Fikih Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara dan Mahasiswa Program S3 Pascasarjana UIN SU