Oleh: Rizki Audina
Sejak zaman Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam hingga saat ini, dakwah tetap dilakukan dengan semarak oleh alim ulama, bahkan oleh orang-orang yang baru belajar tentang Islam lebih dalam lagi. Sebab, berdakwah ialah kewajiban setiap kita umat muslim yang telah balig dan berakal. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 110 yang artinya, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”. Juga sabda Nabi Sallallahu alaihi wasallam, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. (HR. Bukhari)
Dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu, da’a-yad’u-da’watan yang berarti seruan atau ajakan kepada Islam. Hampir sama dengan arti dakwah dalam KBBI yaitu, penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Sedangkan berdakwah berarti mengajak (menyerukan) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Hal ini bertujuan agar manusia berjalan di jalan kebenaran yang diridai Allah Subhanahu wa ta’ala dan bisa memahami serta mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam berdakwah, ada cara-cara khusus yang harus dilakukan agar apa yang disampaikan dalam dakwah tersebut dapat diterima oleh orang lain dengan lebih mudah. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Salah satu wali yang berdakwah dengan pendekatan kesenian dan kearifan lokal yakni, media wayang kulit. Ada pula Sunan Bonang yang berdakwah melalui tembang. Hal tersebut menyesuaikan dengan keadaan masyarakat Jawa saat itu.
Matematika dan Dakwah
Berbicara media, matematika juga merupakan salah satu dari banyaknya media yang bisa digunakan untuk berdakwah. Materi dakwah bisa dirancang dengan menggunakan konsep matematika yang terintegrasi dengan nilai-nilai keislaman. Bukankah alam semesta berjalan sesuai dengan rumus-rumus dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah? Setiap perbuatan memiliki nilai benar dan salahnya sesuai dengan hukum yang telah ada. Begitu pula dengan matematika, yang di dalamnya terdapat banyak rumus-rumus dengan berbagai istilah yang harus dipatuhi juga.
Penggunaan media matematika ini terkhusus untuk para peserta didik yang mempelajari matematika. Sehingga, matematika tak hanya sekadar belajar mengenai simbol-simbol dan angka, tetapi juga bisa belajar nilai-nilai keislaman yang telah dimasukkan seorang guru dalam proses pembelajarannya. Dan guru bukan lagi sekadar guru, melainkan juga sebagai seorang pendakwah. Itulah yang dimaksud berdakwah dengan matematika.
Matematika sebagai suatu media berperan penting dalam penyampaian dakwah. Sebab, tanpa media, komunikasi tidak akan terjalin, apalagi proses dakwah. Angka atau bilangan yang ada dalam Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai argumentasi tentang kebenaran, kelogisan berpikir dan keaslian isi yang terkadung dalam Al-Qur’an. Sebagaimana penjelasan keteraturan bilangan 19 yang dituliskan oleh Abdussakir, M.Pd. di bukunya yaitu, Matematika dalam Al-Qur’an.
Buku ini menjelaskan pada bagian pertamanya mengenai struktur matematika dengan ketelitian yang sukar ditiru oleh manusia yakni, mengenai keteraturan jumlah penyebutan kalimat, kata, bahkan huruf dalam Al-Qur’an yang mengarah pada angka 19 dan kelipatannya. Hal ini membuktikan bahwa pada Al-Qur’an pun ada matematika. Selain itu, juga ada jawaban-jawaban secara matematika mengenai pertanyaan “Mengapa 19?”.
Nilai-nilai keislaman dalam matematika
Islam sangat memuliakan ilmu, bahkan orang yang menuntut ilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Islam pun sangat menghargai penggunaan akal dan kelogisan berpikir yang dapat mengantarkan manusia kepada kebenaran dan sumber kebenaran, Sang Pencipta. Dalam Al-Qur’an sendiri ada banyak redaksi kata yang memerintahkan untuk berpikir; merenung dan memerhatikan kehidupan.
Oleh sebab itu, matematika sebagai disiplin ilmu yang juga memiliki kelogisan berpikir bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam mendakwahkan ajaran Islam. Pendekatan ini semata-mata sebagai pendukung untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa segala ilmu pengetahuan itu baik dan akan melahirkan kebaikan pula.
Banyak sekali konsep Islam yang bisa diperkuat oleh matematika, salah satunya perihal puasa enam hari di bulan Syawal yang akan dihitung seperti berpuasa setahun penuh sesuai sabda Nabi Sallallahu alaihi wasallam, “Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian berpusa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh”. (HR. Muslim, no. 1164)
Kalalulah dipikir, kenapa bisa begitu? Bagaimana hitungannya? Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 160 tertulis, “Barangsiapa berbuat kebajikan mendapat sepuluh kali lipat amalnya”. Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita simpulkan secara matematika, bahwa sebulan puasa Ramadan akan dikalikan sepuluh sehingga menjadi sepuluh bulan. Kemudian, enam hari puasa Syawal akan dikalikan sepuluh sehingga menjadi enam puluh hari alias dua bulan. Sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan dua belas bulan. Maka, paslah setahun penuh.
Selain puasa, ada pula konsep jujur yang terdapat pada matematika yaitu operasi bilangan bulat positif dan negatif; (+ x + = +), (+ x – = -), (- x + = -) dan (- x – = +). Dari operasi bilangan ini dapat kita simpulkan, bahwa benar dikatakan benar maka akan benar, dan salah dikatakan salah maka akan benar. itulah konsep kejujuran, mengatakan sesuatu sesuai dengan apa adanya. Tetapi, jika benar dikatakan salah, atau salah dikatakan benar akan salah, dan itu merupakan suatu kebohongan.
Masih ada banyak nilai-nilai Islam dalam matematika seperti, pembagian hak waris, penentuan jumlah zakat, penghitungan volume air di suatu wadah—apakah telah mencapai dua kulah dan bisa digunakan untuk berwudu—dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa relevansi matematika dengan Islam sangatlah kuat. Dan matematika ada dalam setiap pengamalan ajaran agama Islam. Sehingga, matematika bisa dijadikan sebagai salah satu media untuk berdakwah, meyampaikan pesan-pesan kebajikan dan menyiarkan nilai-nilai keislaman. Menyadarkan manusia bahwa apa-apa yang terjadi di sekitar kita saling berpengaruh dan semuanya telah diatur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala yang akhirnya dapat menuntut umat manusia berjalan di jalan-Nya.
Penulis adalah mahasiswa UIN SU Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan Matematika semester VI dan sedang melaksanakan KKN dari rumah.