Oleh: Drs. Ahmad Zuhri, MA
Pemuda adalah the leader of tomorrow, sehingga wajar bila kemudian ada anggapan bahwa digenggaman merekalah nasib bangsa dipertaruhkan. Pada kesejarahan Indonesia, kontekstualisasi peran perjuangan pemuda sangat strategis dan tak dapat dikesampingkan. Secara apik Benedict Anderson (1988) menguraikannya dalam buku Revolusi Pemoeda, perihal bagaimana para pemuda, khususnya pemuda umat Islam, bahu-membahu dalam perjuangan revolusioner kebangsaan.
Kini di saat Indonesia tengah menuju era industrial 4.0, harapan besar nyatanya masih disematkan kepada para pemuda. Sebagaimana yang termuat di dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan. Sejalan dengan itu, menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2019, jumlah pemuda mencapai 64,19 juta jiwa atau seperempat dari total penduduk Indonesia. Dari sisi capaian pendidikan, satu dari empat pemuda tercatat sedang bersekolah dimana angka partisipasi sekolah (APS) kelompok umur 16-18 tahun sebesar 72,36%; kelompok umur 19-24 tahun sebesar 25,21% dan; 25-30 tahun sebesar 4,13%. Dapat disebut, hampir tidak ada pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis pada 2019.
Seiring meningkatnya jumlah pemuda, begitu pula dengan peningkatan penggunaan teknologi oleh kalangan ini. Tercatat, selama satu semester (Maret-September 2019) ditemukan data adanya sekitar 88,66% pemuda yang memiliki handphone/smartphone, dan naik selama tiga bulan terakhir (Juli-September) menjadi 93,78%. Lalu terdapat sekitar 26,27% persen pemuda yang menggunakan laptop/komputer, bahkan selama (Juli-September) ada sekitar 81,22% pemuda yang menggunakan dan mengakses internet. Kemudian dari sisi pekerjaan, pada 2019, lebih dari separuh pemuda Indonesia telah bekerja (53,89 persen). Sehingga dapat dikatakan pemuda yang terlibat dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi persentasenya, hal ini dinyatakan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda sebesar 61,96 persen. Itu artinya, sekitar tiga dari lima pemuda sedang bekerja, mempersiapkan pekerjaan atau mencari pekerjaan.
Hal ini tentu menggembirakan sekaligus menjadi modal dalam menghadapi kemungkinan bonus demografi Indonesia pada 5 atau 10 tahun mendatang. Sayangnya di saat bersamaan kita juga masih sering disuguhi berita fenomenal yang melibatkan pemuda secara negatif. Tidak dapat dipungkiri menggejalanya seks bebas, terjadinya pemukulan guru oleh murid, banyaknya peristiwa pemerkosaan, maraknya miras, tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, pencurian, perundungan (bullying), aksi pembegalan dan lain sebagainya, sungguh memprihatinkan bagi semua pihak. Sebab 50% pelaku pelbagai tindakan tersebut adalah kalangan pemuda. Lebih miris lagi, mayoritas adalah pemuda muslim sebagai pelakunya. Wajar jika pengamatan terhadap pemuda zaman kini adalah sesungguhnya mereka tengah mengalami degradasi akidah dan akhlak dalam skala besar pada kesehariannya.
Tentu ini bukan semata-mata sebagai kegalauan eksistensif dari penulis. Ini merupakan pencermatan reflektif pada apa yang terjadi dengan perilaku pemuda kekinian. Kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan kemajuan diri dalam bertingkah laku. Pemuda cenderung mengedepankan kepentingan diluar nalar ketimbang kebutuhan yang bersifat religius. Islam secara subtantif esensial sesungguhnya menekankan dimensi keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Adapun yang menjadi pondasi bagi keseimbangan tersebut adalah sikap dan perilaku istiqomah yang didasari pada akidah dan akhlak yang utuh.
Kata akidah berasal dari bahasa Arab: ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan. ‘Aqdan berarti simpulan, ikatan perjanjian dan kokoh, setelah terbentuk menjadi akidah, berarti keyakinan. Dari pendapat ini, dapat dirumuskan bahwa akidah adalah keyakinan yang dianut oleh setiap manusia terhadap sesuatu hal yang menjadi dasar aktivitas dan pandangan hidupnya. Sedangkan kata akhlak juga berasal dari bahasa Arab, merupakan bentuk jama’ dari khuluq yang berarti: budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Ia juga mengandung persesuaian dengan kata khalq yang berarti kejadian. Ibnu ‘Athir menjelaskan bahwa khuluq itu artinya gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat bathiniah), sedang khalq merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah badan, dan lain sebagainya). Sehingga dapat dimengerti bahwa akhlak merupakan sistem etika yang menggambarkan dan tujuan yang hendak dicapai agama Islam.
Rasulullah SAW secara eksplisit menegaskan bahwa prinsip dasar risalah beliau ada pada usaha penyempurnaan akhlak yang mulia. Hal ini bila dikaitkan dengan fenomena kepemudaan, maka patut diurai apa penyebab terkikisnya akidah dan akhlak pemuda zaman kini. Secara asumtif, hal ini terjadi karena adanya penyimpangan akidah dan akhlak. Sebab bila seseorang yang tidak mempunyai akidah dan akhlak yang baik dan benar, maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran.
Adapun sebab-sebab terjadinya penyimpangan akidah dan akhlak itu sebagai berikut: Pertama, jahil (bodoh) terhadap prinsip-prinsip akidah dan akhlak yang benar. Indikatornya adalah minimnya para pemuda yang memiliki intensitas mengkaji Islam secara mendalam. Sehingga masyarakat tidak dibangun di atas pondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran materialisme. Kedua, ta’ashshub (fanatik) kepada leluhur dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran para leluhurnya walaupun hal itu termasuk kebenaran. Indikatornya masih banyak pemuda yang senantiasa membangga-banggakan nasab keturunannya, tanpa berupaya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi.