Syeikh Muhammad Quthb dalam bukunya Islam: The Misuderstood Religion, sangat memuji-muji Umar bin Abdul Aziz yang menggantikan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz atau juga disebut Umar II, adalah khalifah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun).
Umar lahir di Madinah pada tahun 682. Sebagian sumber menyatakan bahwa dia lahir di Mesir. Ayahnya adalah Abdul Aziz, putra Khalifah Marwan bin al-Hakam yang merupakan sepupu Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Ibunya adalah Laila, cucu Khalifah Umar bin Khattab.
Keterkaitan antara Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz
Keterkaitan silsilah antara Umar bin Abdul Aziz dengan Umar bin Khattab bermula pada suatu malam di masa Umar bin Khattab. Saat sedang beronda malam, Umar bin Khattab mendengar percakapan antara seorang gadis dan ibunya dari keluarga pedagang susu. Sang gadis menolak mencampur susu dengan air sebagaimana yang diperintahkan ibunya lantaran terdapat larangan dari khalifah mengenai hal tersebut dan mengatakan bahwa Allah melihat perbuatan mereka meski Umar bin Khattab sendiri tidak mengetahui. Kagum akan kejujurannya, Umar memerintahkan salah seorang putranya, ‘Ashim, untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan ini, lahirlah Laila, ibunda Umar bin Abdul Aziz.
Walaupun usia kepemimpinannya tidak berlangsung lama, tetapi namanya sering disebut-sebut sebagai contoh khalifah yang sangat berhasil, bahkan ia dianggap sebagai khalifah yang kelima dari khulafaurrasyidin.
Lalu apa yang menyebabkan, nama beliau selalu dikenang?
Dalam sistem kekhalifahan di masa Ummayyah atau Abbasiyyah maka yang menjadi penerus kekhalifahan biasanya adalah anak kandungnya sendiri, namun tidak dengan saat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mangkat.
Saat setelah khalifah dikuburkan, maka akan diumumkanlah siapa yang akan menggantikan khalifah. Rakyat sudah banyak berkerumun menunggu pengumuman di Masjid Agung Dinasti Umayyah. Masjid sudah penuh sesak. Suasana duka masih menyelimuti umat Islam pada waktu itu. Kedukaan bercampur dengan ketegangan. Karena sesui dengan wasiat khalifah, hari itu Maha Menteri Raja’ bin Haiwah harus membuka surat wasiat untuk menentukan siapa yang akan menggantikan khalifah yang mangkat.
Tentu saja, para anak, dan seluruh keluarga raja termasuk Umar bin Abdul Aziz yang merupakan sepupu dari Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.
Dalam buku Siasat Kiai Pinggiran yang ditulis Anshari Thayib (1997), dengan sangat apik ia mencoba memunculkan suasana di tahun 717 H saat terjadi suksesor kekhalifahan.
Sebelum, Raja’ bin Haiwah membacakan surat wasiat tersebut, suasana tampak hening. Umar bin Abdul Aziz duduk takzim sampai-sampai dagunya menyentuh dada.
Sorot mata seluruh jamaah, tampak mengiringi Raja’ bin Haiwah tampil di mimbar. Dengan suara yang sangat dalam, tetapi terasa nyaring di telinga semua jamaah, dia membacakan surat wasiat itu, kata demi kata. Begitu nama Umar bin Abdul Aziz disebut sebagai suksesor kekhalifahan, semua Jemaah langsung menyambutnya dengan suara gemuruh, memberi persetujuan dengan mufakat bulat.
Sementara, Umar bin Abdul Aziz terkejut. Suara Raja’ di telinganya, justru terasa seperti petir, di siang bolong. Dia langsung mengangkat kepalanya, berdiri lalu berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Baginya, penyebutan namanya itu bukan berkah dan nikmat, tetapi musibah dan fitnah.
“Demi Allah, ini sama sekali bukan atas permintaanku, baik secara rahasia maupun terang-terangan. Wahai para jamaah, sesugguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini, tanpa meminta pendapatku lebih dahulu. Bukan pula atas permintaanku. Tidak pula atas musyawarah seluruh kaum muslimin. Kini aku membebaskan para jamaah dari baiat yang ada di pundak saudara-saudara terhadapku. Pilihlah siapa yang kamu sukai untuk diri kalian, dengan bebas,” kata Umar bin Abdul Aziz.
Tetapi, begitu mendengar pernyataan Umar tersebut, para jamaah serempak tanpa direkayasa lebih dahulu berkata, “Kami memilih dan berbaiat kepadamu, wahai Amirul Mukminin! Perintahlah kami dengan ikhsan dan berkah.”
Umar hanya bisa menunduk. Sebelum Khalifah Sulaiman sepupunya wafat, ia sudah berusaha agar dirinya tak termasuk pada daftar nominasi calon pengganti khalifah, sikap itu telah ia sampaikan kepada khalifah dan Maha Menteri Raja’. Hati Umar agak tenang, ketika Raja’ menjawab pada waktu itu, “Anda tak usah berprasangka nama Anda dicantumkan sebagai pengganti keluarga Abdul Malik.”
Tentu saja, pernyataan itu membuat hatinya tenang. Tetapi kini, nasi telah menjadi bubur. Surat wasiat sudah dibacakan. Dia mau tak mau, harus memikul amanat.
Langkah Awal Kepemimpinannya
Lalu langkah awal yang ia lakukan adalah, melakukan konsolidasi keluarga lebih dahulu. Dia tidak mau gara-gara ia menjadi khalifah, maka keluarganya menjadi jumawa dan sombong. Dia harus membangun pondasi moral bangsa Negara, diawali dengan membangun pondasi moral keluarganya. Pada saat yang bersamaan, ia juga menjalin hubungan akrab dengan para pejabat Negara dan ulama. Ia menginginkan pada masa kepemimpinannya, para pejabat harus menjadi contoh yang baik untuk rakyatnya, begitu juga dengan ulama di tempatkan sebagai orang yang diharapkan mampu memberikan nasihat-nasihat kepadanya, bila ia ‘salah’ melangkah.
Tidak hanya itu, ia juga menyerahkan sebagian kekayaan yang ia miliki untuk baitul mal. Bahkan ia terkejut ketika menjelang penobatannya ia melihat sejumlah pejabat sepakat untuk mengarak beliau dengan kereta kencana yang mewah dan akan menjadi kendaraan dinas beliau. Namun Umar menolak dan menyatakan ia akan memakai kereta kudanya sendiri yang terburuk dari yang ia miliki. Subhanallah.
Banyak kisah-kisah keteladan yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz yang bisa dibaca dalam beberapa literatur yang ada.
Lalu kini kita telah memasuki tahun 1442 H, sekira 700 tahun yang lalu Umar bin Abdul Aziz telah meninggalkan kita. Walaupun usia kepemimpinannya tidak lebih dari 3 tahun, namun namanya tetapi ‘abadi’ sampai sekarang ini. Karena ia menjadi buah bibir yang tidak pernah habis dibicarakan. Para penulis sering memunculkan namanya dalam setiap tulisan mereka.
Coba kita bandingkan dengan saat ini. Ada tidak pemimpin yang bisa menyamai Umar bin Abdul Aziz? Jauh panggang dari api, jika kita mengatakan bahwa ada pemimpin yang menyamai kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Kepemimpinan dan Fitnah
Bagi Umar, kepemimpinan adalah suatu fitnah, yang harus dijauhi. Tidak pantas rasanya dia diamanahkan untuk menjadi seorang pemimpin. Ia merasa dirinya penuh kekurangan, bahkan dia merasa dirinya tidak pantas untuk menjadi pemimpin.
Seorang pemimpin baginya, harus siap berada di depan saat negerinya dalam bahaya. Siap lapar sebelum rakyatnya semua kenyang. Fasilitas Negara yang ia dapatkan, bukan untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya, karena ia tahu, fasilitas itu hanya melekat untuk dirinya sendiri, bukan untuk keluarganya.
Tahun Baru Islam harusnya membuat kita memaknainya, dengan bermuhasabah. Mencoba mengoreksi apa yang selama ini kita lakukan. Apakah kita lebih banyak melakukan dosa atau melakukan perbuatan amal pahala. Jangan sampai dunia ini membuat kita lalai, apalagi pada saat kita berada di puncak kejayaan kita.
Masa 3 tahun kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz membuat rakyat sangat tentram, tidak ada kemiskinan bahkan pada saat itu orang susah mencari orang miskin, karena mereka hidup dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan.
Mari kita contoh Umar bin Abdul Aziz, jika kita diamanahkan menjadi pemimpin. Takut sama Allah, karena pemimpin yang takut sama Allah, maka ia akan mampu menjaga amanah yang diberikan tersebut. Semoga kita bisa meneladani Umar bin Abdul Aziz. (*)